ULAMA BANDUNG TEMPO DULU Raden K.H.Hasan Musthofa

Bismillahir Rahmanir Rahiim
Allahumma sholli a`la sayyidina muhammadin wa a`la aali sayyidina muhammadin wa a`la ahli bait

Silsilah Raden K.H.Hasan Musthofa

DARI PIHAK AYAH :

1. Sayyidina Maulana Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

2. Sayyidatun Nissa Siti Fatimah Az-Zahro Binti Muhammad Saw.,
menikah dengan Kanjeng Sayyidina Al Imam Ali Bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah wa Radhiyallahu ‘Anhuma,

3. Al Imam Husein RA.
4. Al Imam Ali Zainal abidin Assajjad RA
5. Al Imam Muhammad Albaqir
6. Al Imam Ja’far Ash-Shadiq
7. Al Imam Ali Al Uraidhiy
8. Al Imam Muhammad Annaqib
9. Al Imam Isa Arruumiy
10. Al Imam Ahmad Almuhajir
11. Al Imam Ubaidillah
12. Al Imam Alwi bin Ubaidillah ( jaddu Bani Alawy ) RA.
13. Al Imam Muhammad Maula Shama’ah
14. Al Imam Alwi
15. Al Imam Ali Khali' Qasam
16. Al Imam Muhammad Shahib Marbath
17. Al Imam Ali Nuruddin Ba’alawiy
18. Al Imam Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Nuruddin Ba’alawiy RA.

19. Syaikhuna Maulana Yusuf Al-Mukhrowi (Jafri Al-Husaini) Ing Parsi
20. Syekh Abdullah Wahab ( wafat di Makkah )

21. Syekh Muhammad Akbar Al Ansari
( wafat di Madinah )

22. Syekh Abdul Muhyi Al Khoyri
( wafat di Palestina )

23. Syekh Muhammad Al Alsiy
( wafat di Parsi )

24. Syekh Abdul Kholiq Al Idrus
( datang ke Jepara, Jawa, awal tahun1400 M,
menikah dengan putri mubaligh Gujarat,
yaitu Syekh Muhammad Akbar )

25. Raden Muhammad Yunus
( Wong Agung Jepara )

26. Raden Abdul Qodir ( Dipati Unus)
( menjadi Sultan ke II Demak )

27. Raden Abdullah
( menikah dengan putri ke III Maulana Hasanuddin – Banten, bernama Fatimah )

28. Raden Aryawangsa, menikah dengan putri istana Pakuan,
bergelar Sultan Muhammad Wangsa

29. Raden Suryadiningrat (th 1580 M), nama aslinya Adipati Suryawangsa, menikah dengan salah seorang putri Panembahan Senopati (Mataram), berputra Raden Ngabehi Wirawangsa.

30. Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I,
disebut Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan di Leuwiloa (1641 – 1674). Menjadi kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta. Resmi diangkat bupati menjadi bupati Sukapura bergelar Wiradadaha I, yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya)
Raden Tumenggung Wiradadaha diberi gelar oleh Sultan Agung (Mataram), yaitu Raden Ngabehi Wirawangsa, bupati Sukapura pertama, karena berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur th. 1632 M.

31. Raden Anggadipa (gelar Tumenggung Wiradadaha III mendapat sebutan Dalem Sawidak ).

32. Raden Subangmanggala (gelar Tumenggung Wiradadaha IV ).

33. Raden Secapati (gelar Tumenggung Wiradadaha V mendapat sebutan Dalem tumenggung secapati ).

34. Raden Jayangadireja (gelar Tumenggung Wiradadaha VI ).

35. Raden adipati wiratanubaya bupati parakan muncang (gelar Tumenggung Wiradadaha VII mendapat sebutan Dalem Jayamanggala II ).

36. Raden Sacamanggala (gelar H.Utsman Mas Sastramanggala camat cikajang ).

37. Raden K.H.Hasan Musthofa ( di makamkan di karang anyar lingkungan makam para bupati Jl.oto iskandar dinata kotamadya bandung  )


DARI PIHAK IBU :
1. Prabu Siliwangi II Rd.Pamanah rasa
2. Prabu Kiansantang / Sunan Rohmat Suci Godog
3. Dalem Sunan Pager ageung suci godog juru kunci pertama Makam Sunan Rohmat
……………………………..
.. Mas Kartapraja
..Nyimas Salpah (Nyimas Éméh),
..Raden K.H.Hasan Musthofa ( di makamkan di karang anyar lingkungan makam para bupati Jl.oto iskandar dinata kotamadya bandung  )


Haji Hasan Mustafa (Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – Bandung, 1348 H/13 Januari 1930) adalah seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (pusisi yang berirama dalam bahasa Sunda), pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia Belanda.
Haji Hasan Mustafa lahir dan hidup dalam lingkungan menak (bangsawan Sunda), tetapi berorientasi pada pesantren. [Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji disebut Haji Usman, camat perkebunan.] Karena kekerasan hati ayahnya ia tidak dididik melalui bangku sekolah yang akan membukakan dunia menak bagi masa depannya, melainkan dimasukkan ke pesantren. Pertama-tama ia belajar mengaji dari orang tuanya, kemudian belajar qiraah (membaca al-Qur’an dengan baik) dari Kiai Hasan Basri, seorang ulama dari Kiarakoneng, Garut, dan dari seorang qari yang masih berkerabat dengan ibunya.
Ketika berusia 8 tahun, ia dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji untuk pertama kali. Di Mekah ia bermukim selama setahun dan belajar bahasa Arab dan membaca al-Qur’an. Sepulangnya dari Mekah di masukkan ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Ia belajar dasar-dasar ilmu syaraf dan nahwu (tata bahasa Arab) kepada Rd. H Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian ia pindah ke Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap, Sumedang. Dari Sumedang ia kembali lagi ke Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai terkenal dari Surabaya dan murid dari Syekh Khalil Bangkalan Madura,. Pada tahun 1874, ia berangkat untuk kedua kalinya ke Mekah guna memperdalam ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kali ini ia bermukim di Mekah selama 8 tahun. Ketika berada di Mekah ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang sedang meneliti masyarakat Islam di Mekah. Pertemuan itu membuat hubungan keduanya akrab sampai Haji Hasan Mustafa meninggal dunia dan Snouck Hurgronje kembali ke negerinya setelah menunaikan tugas pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Menurut data yang diperoleh dari P.S. van Koningsveld, seorang ahli bahasa Arab dan agama Islam di Belanda, melalui naskah asli Abu Bakar Djajadiningrat, seorang ulama Indonesia, yang dianggap sebagai sumber utama Snouck Hurgronje tentang Mekah, diperoleh informasi bahwa Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama terkemuka dari Jawa yang berada di Mekah menjelang akhir abad ke-19. Ia dianggap setingkat dengan Haji Ahmad Banten, putra Syekh Nawawi al-Jawi (Nawawi al-Bantani). Dalam urutan nama ulama Jawa terkemuka di Mekah saat itu, Haji Hasan Mustafa ditempatkan dalam urutan keenam. Ia mengajar di Masjidil Haram dan mempunyai 30 orang murid. Haji Hasan Mustafa menulis buku dalam bahasa Arab,Fath al-Mu’in (Kunci Penolong), yang diterbitkan di Mesir.
Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama yang menguasai berbagai macam ilmu yang diperoleh dari guru-gurunya di Mekah. Selain kepada Syekh Nawawi al-Bantani, ia juga berguru pada Syekh Mustafa al-Afifi, Syekh Abdullah az-Zawawi, Hasballah, dan Syekh Bakar as-Satha, semuanya adalah orang Arab.
Haji Hasan Mustafa meninggalkan Mekah pada tahun 1882, karena dipanggil oleh RH. Muhammad Musa, penghulu Garut pada masa itu. Ia dipanggil pulang untuk meredakan ketegangan akibat perbedaan paham di antara para ulama di Garut. Berkat usaha Haji Hasan Mustafa dan bantuan RH. Muhammad Musa, perselisihan itu dapat diredakan. Selama 7 tahun ia memberikan pelajaran agama siang dan malam, terutama di Masjid Agung Garut.
Karena pengetahuan agamanya yang luas, Snouck Hurgronje pada tahun 1889 memintanya untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Ketika itu Snouck Hurgronje adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang masalah Bumiputra dan Arab. Ia menjadi pembantu Snouck Hurgronje selama 7 tahun. Atas usul Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda mengangkat Haji Hasan Mustafa menjadi kepala penghulu di Aceh pada tanggal 25 Agustus 1893.
Jabatan kepala penghulu di Aceh dipegangnya selama 2 tahun (1893-1895). Kemudian pada tahun 1895 ia kembali ke Bandung dan menjadi penghulu Bandung selama 23 tahun. Akhirnya pada tahun 1918, atas permintaannya sendiri ia memperoleh pensiun.
Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama yang sabar, berpendirian teguh dan berani mengemukakan pendapat serta pendirian. Ia mengembangkan ajaran islam melalui tugas sebagai penghulu dan kegiatannya sebagai pengajaran agama dan tasawuf dalam pertemuan-pertemuan informal. Di antara muridnya terdapat Kiai Kurdi dari Singaparna, Tasikmalaya, yang mempunyai sebuah pesantren.
Ajaran Islam ditulis dan diajarkannya dengan menggunakan lambang-lambang yang terdapat dalam pantun serta wayang tradisional Sunda. Metafora yang dipergunakan sering bersifat khas Sunda. Penyampaian ajaran agama Islam begitu dekat dengan kebudayaan setempat (Sunda). Ia memetik 104 ayat al-Qur’an untuk orang Sunda. Jumlah itu dianggap cukup dan sesuai dengan kemampuan orang Sunda dalam memahami ajaran islam.
Aliran mengenai tasawuf yang dianut oleh K.H.Hasan Musthofa menganut aliran Syathariyyah, yang diterima langsung dari Syekh Haji Abdul Muhyi pamijahan jawa barat, salah seorang murid Syekh Abdur Rauf Singkel. Dan Dalam karyanya ia sering menyebut nama Imam al-Ghazali sebagai sufi yang dikaguminya.
Haji Hasan Mustafa menyebarkan ajaran Islam melalui karya-karya seninya yang sangat berlainan dengan karya-karya seni Sunda pada masa itu. Umumnya yang dibahas adalah maslah-masalah ketuhanan (tasawuf). Bentuk formalnya mirip dengan kitab-kitab suluk dalam bahasa Jawa, tetapi isinya lebih dekat dengan tradisi puisi tasawuf. Karya-karya itu merupakan perpaduan atas tanggapan, renungan, dan pendapat Haji Hasan Mustafa terhadap bermacam-macam pengetahuan yang dikuasainya, yakni agama Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Hampir semua karyanya ditulis dalam huruf pegon (tulisan menggunakan huruf Arab tetapi kata-kata dalam bahasa Jawa atau Sunda).
[Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas masalah suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Metafora yang sering digunakannya untuk menggambarkan hubungan itu ialah seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengancaruluk (bahan aren), yang menyebabkan sebagian ulama menuduhnya pengikut mazhab wahdatul-wujud. Terhadap tuduhan itu, ia sempat membuat bantahan Injaz al-Wa'd, fi Ithfa al-Ra'd (membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar) dalam bahasa Arab yang salah satu salinan naskahnya masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.]
Karya-karyanya yang pernah dicetak dan dijual kepada umum adalah Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Liana ti Éta (1913), esei tentang suku Sunda, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Belanda (1977); Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan (Hadis Mikraj, tahun 1928); dan Syekh Nurjaman (1958).
Di samping itu terdapat pula buku-bukunya yang hanya dicetak dan diedarkan di kalangan terbatas, seperti Buku Pusaka Kanaga Wara, Pamalatén, Wawarisan, danKasauran Panungtungan. Semua buku tersebut tidak diketahui tahun terbitnya.
Karya-karyanya yang dipublikasikan dalam bentuk stensilan ialah Petikan Qur’an Katut Abad Padikana (1937) dan Galaran Sasaka di Kaislaman (1937). Masih ada karya lain yang tidak dipublikasikan dan disimpan oleh M. Wangsaatmadja (sekretarisnya, 1923-1930). Pada tahun 1960 naskah tersebut diketik ulang dan diberi judul Aji Wiwitan (17 jilid). [Selain itu, Haji Hasan Mustapa menulis naskah dalam bahasa melayu Kasful Sarair fi Hakikati Aceh wa Fidir (Buku Rahasia Sebetulnya Aceh dan Fidi) yang sampai sekarang naskahnya tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.]
Pada tahun 1977 haji Hasan Mustafa sebagai sastrawan Sunda memperoleh hadiah seni dari presiden Republik Indonesia secara anumerta.*** (Sumber: Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 183-184. Tulisan di dalam kurung tegak merupakan catatan tambahan dari Ensiklopedi Sunda.)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar